Marusu’ dalam perjalanan sejarah kerajaan-kerajaan di sulawesi selatan
Sebahagian besar Raja-Raja dan Bangsawan di Sulawesi Selatan adalah keturunan Raja Maros (Marusu’), termasuk Pahlawan Nasional yang bergelar Ayam Jantan dari Timur “I Mallombassi Daeng Mattawang KaraEng Bonto Mangape Sultan Hasanuddin Tumenanga ri Balla’Pangkana, Raja Gowa XVI”.
Hubungan kekerabatan antara Raja Marusu’ dengan Raja-Raja di Sulawesi Selatan diawali dengan perkawinan antara putri “ KaraEng LoE ri Marusu’ “ yang bernama “I Pasilemba Tumamalianga ri Tallo”, yang dipersunting oleh “I Mangayoang Berang Tunipasuru’, Raja Tallo III”.
Dari perkawinan putri Marusu’ dengan Raja Tallo ini lahir “KaraEng Patingalloang Tumenanga ri Makkowayang, Raja Tallo IV”.
“KaraEng Patingalloang Tumenanga ri Makkowayang, Raja Tallo IV” yang tidak lain adalah cucu langsung dari “KaraEng LoE Ri Marusu” kemudian mempersunting “KaraEng Sombaopu”, putri dari “I Daeng Matanre KaraEng Tumapa’risi’ Kallongna, Raja Gowa IX”.
Dari perkawinan ini lahir
(a). “Daeng Niasseng KaraEng Patingalloang, Raja Tallo V” dan
(b). “I Malingkaan Daeng Manyonri KaraEng Matowaya Sultan Abdullah Awwalul Islam Tumenanga ri Agamana, Raja Tallo VI”.
“Daeng Niasseng KaraEng Patingalloang, Raja Tallo V” dipersunting oleh “I Manggorai Daeng Mammeta KaraEng Bonto Langkasa’ Tunijallo’, Raja Gowa XII”. Dari perkawinan ini lahir :
1. “I TepukaraEng Daeng Parabbung Tunipasulu’ KaraEng Bonto Langkasa, Raja Gowa XIII”,
2. “I Mangarangi Daeng Manrabbia Sultan Alauddin Tumenanga ri Gaukanna, Raja Gowa XIV”. Baginda mempersunting Daeng Maccini KaraEng Bontoa. Dari perkawinan ini lahir “I Manuntungi Daeng Mattola KaraEng Lakiyung Sultan Malikussaid, Raja Gowa XV”. Kemudian “Sultan Malikussaid” mempersunting Lo’mo Tokuntu. Dan dari perkawinan ini lahir Baginda “I Mallombassi Daeng Mattawang KaraEng Bonto Mangape Sultan Hasanuddin Tumenanga ri Balla’Pangkana,Raja Gowa XVI”. Dari pemaparan di atas Nampak jelas bahwa “Sultan Hasanuddin” adalah “keturunan ke-6” dari “ KaraEng LoE ri Marusu’ “.
Salah seorang cucu langsung “Sultan Hasanuddin” yakni “I Mariyama KaraEng Pattukangang” kemudian dipersunting oleh “La Patau Matanna Tikka Walinonoé To Tenri Bali Malaé Sanrang Sultan Idris Azimuddin Petta Matinroé ri Nagauléng, Raja Bone XVI”. Dari Perkawinan ini lahir : (1).“La Pareppai To Sappewali Sultan Sahabuddin Ismail, Raja Gowa XX & Raja Bone XIX”,
(2). “La Padassajati To Appaware Sultan Sulaiman, Raja Bone XVIII”,
(3). “La Panaungi To Pawawoi Sultan Abdullah Mansur, Raja Bone XX”, dan
(4). “We Yanebana”.
3. “ KaraEngta Balla’bugisi’ “, dipersunting oleh “Pattiware Daeng Parabbung Sultan Muhammad Waliul Mudharuddin Raja Luwu XV”. Dari perkawinan ini lahir
(1).“Pattiaraja”,
(2). “Pattipasaung, Raja Luwu XVI” dan
(3). “We Tenri Siri Somba Baineya”.
b. “I Malingkaan Daeng Manyonri KaraEng Matowaya Sultan Abdullah Awwalul Islam Tumenanga ri Agamana, Raja Tallo VI”, adalah Raja Makassar yang pertama memeluk Agama Islam.
“I Mallingkaan “ mempersunting “KaraEng Mannaungi”. Dari perkawinan ini lahir
(1). “KaraEng Kanjilo Sultan Abdul Gaffar, Raja Tallo VII”,
(2). “I Mangadicinna Daeng Sitaba Sultan Mahmud KaraEng Patingalloang, Raja Tallo VIII” dan
(3). “KaraEng Pattukangang”.
Dari pemaparan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa keturunan Raja Gowa, Raja Tallo, Raja Bone dan Raja Luwu yang tersebar di Sulawesi Selatan “berdarah” Marusu’.
“I Mangadicinna Karaeng Patingalloang” adalah putra dari “I Malingkaan Daeng Manyonri KaraEng Matowaya Sultan Abdullah Awwalul Islam Tumenanga ri Agamana, Raja Tallo VI”. Turunan ke- 4 dari “KaraEng Loe Ri Marusu “ ini diangkat sebagai Tumabbicara Butta atau Mangkubumi Kerajaan Gowa pada tahun 1639, mendampingi Sultan Malikussaid yang memerintah pada tahun 1639-1653. Karaeng Pattingalloang, dilantik menjadi Tumabbicara Butta Kerajaan Gowa pada hari Sabtu, tanggal 18 Juni 1639. Pada saat ini menjabat Mangkubumi, Karajaan Makassar telah menjadi sebuah kerajaan terkenal dan banyak mengundang perhatian negeri-negeri lainnya.
Karaeng Patingalloang adalah putra Tallo-Marusu’-Gowa yang kepandaiannya atau kecakapannya melebihi orang-orang Bugis Makassar pada umumnya. Dalam usia 18 tahun ia telah menguasai banyak bahasa, di antaranya bahasa Latin, Yunani, Itali, Perancis, Belanda, Arab, dan beberapa bahasa lainnya. Selain itu juga memperdalam ilmu falak. Pemerintah Belanda melalui wakil-wakilnya di Batavia di tahun 1652 menghadiahkan sebuah bola dunia (globe) yang khusus dibuat di negeri Belanda, yang diperkirakan harganya f 12.000. Beliau meninggal pada tanggal 17 September 1654 di Kampung Bontobiraeng. Sebelum meninggalnya ia telah mempersiapkan 500 buah kapal yang masing-masing dapat memuat 50 awak untuk menyerang Ambon.
Karaeng Patingalloang adalah juga seorang pengusaha internasional, beliau bersama dengan Sultan Malikussaid berkongsi dengan pengusaha besar Pedero La Matta, Konsultan dagang Spanyol di Bandar Somba Opu, serta dengan seorang pelaut ulung Portugis yang bernama Fransisco Viera dengan Figheiro, untuk berdagang di dalam negeri. Karaeng Pattingalloang berhasil mengembangkan/meningkatkan perekonomian dan perdagangan Kerajaan Gowa. Di kota Raya Somba Opu, banyak diperdagangkan kain sutra, keramik Cina, kain katun India, kayu Cendana Timor, rempah-rempah Maluku, dan Intan Berlian Borneo.
Pada pedagang-pedagang Eropa yang datang ke Makassar biasanya membawa buah tangan yang diberikan kepada para pembesar dan bangsawan-bangsawan di Kerajaan Gowa. Buah tangan itu kerap kali juga disesuaikan dengan pesan yang dititipkan ketika mereka kembali ke tempat asalnya. Karaeng Pattingalloang ketika diminta buah tangan apa yang diinginkannya, jawabnya adalah buku. Oleh karena itu tidak mengherankan jika Karaeng Patingalloang memiliki banyak koleksi buku dari berbagai bahasa.
Karaeng Patingalloang adalah sosok cendikiawan yang dimiliki oleh Kerajaan Makassar ketika itu. Karena itu pedulinya terhadap ilmu pengetahuan, sehingga seorang penyair berkebangsaan Belanda yang bersama Joost van den Vondel, sangat memuji kecendikiawannya dan membahasakannya dalam sebuah syair sebagai berikut:
Karaeng Patingalloang tampil sebagai seorang cendekiawan dan negarawan di masa lalu. Sebelum beliau meninggal dunia, beliau pernah berpesan untuk generasi yang ditinggalkan antara lain sebagai berikut:
Ada lima penyebab runtuhnya suatu kerajaan besar, yaitu:
Yang artinya sebagai berikut :
Beliau wafat ketika ikut dalam barisan Sultan Hasanuddin melawan Belanda. Setelah wafatnya, “KaraEng Patingalloang” kemudian dianugerahi gelar anumerta “Tumenanga ri Bonto Biraeng”.
Semoga pesan-pesan beliau sebagai seorang Negarawan dan Cendikiawan dapat mengilhami para pemimpin dan putra-putri Maros untuk membawa Maros menjadi Butta Salewangang yang sesungguhnya…Amiiin.
Hubungan kekerabatan antara Raja Marusu’ dengan Raja-Raja di Sulawesi Selatan diawali dengan perkawinan antara putri “ KaraEng LoE ri Marusu’ “ yang bernama “I Pasilemba Tumamalianga ri Tallo”, yang dipersunting oleh “I Mangayoang Berang Tunipasuru’, Raja Tallo III”.
Dari perkawinan putri Marusu’ dengan Raja Tallo ini lahir “KaraEng Patingalloang Tumenanga ri Makkowayang, Raja Tallo IV”.
“KaraEng Patingalloang Tumenanga ri Makkowayang, Raja Tallo IV” yang tidak lain adalah cucu langsung dari “KaraEng LoE Ri Marusu” kemudian mempersunting “KaraEng Sombaopu”, putri dari “I Daeng Matanre KaraEng Tumapa’risi’ Kallongna, Raja Gowa IX”.
Dari perkawinan ini lahir
(a). “Daeng Niasseng KaraEng Patingalloang, Raja Tallo V” dan
(b). “I Malingkaan Daeng Manyonri KaraEng Matowaya Sultan Abdullah Awwalul Islam Tumenanga ri Agamana, Raja Tallo VI”.
“Daeng Niasseng KaraEng Patingalloang, Raja Tallo V” dipersunting oleh “I Manggorai Daeng Mammeta KaraEng Bonto Langkasa’ Tunijallo’, Raja Gowa XII”. Dari perkawinan ini lahir :
1. “I TepukaraEng Daeng Parabbung Tunipasulu’ KaraEng Bonto Langkasa, Raja Gowa XIII”,
2. “I Mangarangi Daeng Manrabbia Sultan Alauddin Tumenanga ri Gaukanna, Raja Gowa XIV”. Baginda mempersunting Daeng Maccini KaraEng Bontoa. Dari perkawinan ini lahir “I Manuntungi Daeng Mattola KaraEng Lakiyung Sultan Malikussaid, Raja Gowa XV”. Kemudian “Sultan Malikussaid” mempersunting Lo’mo Tokuntu. Dan dari perkawinan ini lahir Baginda “I Mallombassi Daeng Mattawang KaraEng Bonto Mangape Sultan Hasanuddin Tumenanga ri Balla’Pangkana,Raja Gowa XVI”. Dari pemaparan di atas Nampak jelas bahwa “Sultan Hasanuddin” adalah “keturunan ke-6” dari “ KaraEng LoE ri Marusu’ “.
Salah seorang cucu langsung “Sultan Hasanuddin” yakni “I Mariyama KaraEng Pattukangang” kemudian dipersunting oleh “La Patau Matanna Tikka Walinonoé To Tenri Bali Malaé Sanrang Sultan Idris Azimuddin Petta Matinroé ri Nagauléng, Raja Bone XVI”. Dari Perkawinan ini lahir : (1).“La Pareppai To Sappewali Sultan Sahabuddin Ismail, Raja Gowa XX & Raja Bone XIX”,
(2). “La Padassajati To Appaware Sultan Sulaiman, Raja Bone XVIII”,
(3). “La Panaungi To Pawawoi Sultan Abdullah Mansur, Raja Bone XX”, dan
(4). “We Yanebana”.
3. “ KaraEngta Balla’bugisi’ “, dipersunting oleh “Pattiware Daeng Parabbung Sultan Muhammad Waliul Mudharuddin Raja Luwu XV”. Dari perkawinan ini lahir
(1).“Pattiaraja”,
(2). “Pattipasaung, Raja Luwu XVI” dan
(3). “We Tenri Siri Somba Baineya”.
b. “I Malingkaan Daeng Manyonri KaraEng Matowaya Sultan Abdullah Awwalul Islam Tumenanga ri Agamana, Raja Tallo VI”, adalah Raja Makassar yang pertama memeluk Agama Islam.
“I Mallingkaan “ mempersunting “KaraEng Mannaungi”. Dari perkawinan ini lahir
(1). “KaraEng Kanjilo Sultan Abdul Gaffar, Raja Tallo VII”,
(2). “I Mangadicinna Daeng Sitaba Sultan Mahmud KaraEng Patingalloang, Raja Tallo VIII” dan
(3). “KaraEng Pattukangang”.
Dari pemaparan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa keturunan Raja Gowa, Raja Tallo, Raja Bone dan Raja Luwu yang tersebar di Sulawesi Selatan “berdarah” Marusu’.
“I MANGADICINNA DAENG SITABA SULTAN MAHMUD KARAENG PATINGALLOANG TUMENANGA RI BONTO BIRAENG, RAJA TALLO VIII, KARAENG TUMABBICARA BUTTA RI GOWA”
“I Mangadicinna Karaeng Patingalloang” adalah putra dari “I Malingkaan Daeng Manyonri KaraEng Matowaya Sultan Abdullah Awwalul Islam Tumenanga ri Agamana, Raja Tallo VI”. Turunan ke- 4 dari “KaraEng Loe Ri Marusu “ ini diangkat sebagai Tumabbicara Butta atau Mangkubumi Kerajaan Gowa pada tahun 1639, mendampingi Sultan Malikussaid yang memerintah pada tahun 1639-1653. Karaeng Pattingalloang, dilantik menjadi Tumabbicara Butta Kerajaan Gowa pada hari Sabtu, tanggal 18 Juni 1639. Pada saat ini menjabat Mangkubumi, Karajaan Makassar telah menjadi sebuah kerajaan terkenal dan banyak mengundang perhatian negeri-negeri lainnya.
Karaeng Patingalloang adalah putra Tallo-Marusu’-Gowa yang kepandaiannya atau kecakapannya melebihi orang-orang Bugis Makassar pada umumnya. Dalam usia 18 tahun ia telah menguasai banyak bahasa, di antaranya bahasa Latin, Yunani, Itali, Perancis, Belanda, Arab, dan beberapa bahasa lainnya. Selain itu juga memperdalam ilmu falak. Pemerintah Belanda melalui wakil-wakilnya di Batavia di tahun 1652 menghadiahkan sebuah bola dunia (globe) yang khusus dibuat di negeri Belanda, yang diperkirakan harganya f 12.000. Beliau meninggal pada tanggal 17 September 1654 di Kampung Bontobiraeng. Sebelum meninggalnya ia telah mempersiapkan 500 buah kapal yang masing-masing dapat memuat 50 awak untuk menyerang Ambon.
Karaeng Patingalloang adalah juga seorang pengusaha internasional, beliau bersama dengan Sultan Malikussaid berkongsi dengan pengusaha besar Pedero La Matta, Konsultan dagang Spanyol di Bandar Somba Opu, serta dengan seorang pelaut ulung Portugis yang bernama Fransisco Viera dengan Figheiro, untuk berdagang di dalam negeri. Karaeng Pattingalloang berhasil mengembangkan/meningkatkan perekonomian dan perdagangan Kerajaan Gowa. Di kota Raya Somba Opu, banyak diperdagangkan kain sutra, keramik Cina, kain katun India, kayu Cendana Timor, rempah-rempah Maluku, dan Intan Berlian Borneo.
Pada pedagang-pedagang Eropa yang datang ke Makassar biasanya membawa buah tangan yang diberikan kepada para pembesar dan bangsawan-bangsawan di Kerajaan Gowa. Buah tangan itu kerap kali juga disesuaikan dengan pesan yang dititipkan ketika mereka kembali ke tempat asalnya. Karaeng Pattingalloang ketika diminta buah tangan apa yang diinginkannya, jawabnya adalah buku. Oleh karena itu tidak mengherankan jika Karaeng Patingalloang memiliki banyak koleksi buku dari berbagai bahasa.
Karaeng Patingalloang adalah sosok cendikiawan yang dimiliki oleh Kerajaan Makassar ketika itu. Karena itu pedulinya terhadap ilmu pengetahuan, sehingga seorang penyair berkebangsaan Belanda yang bersama Joost van den Vondel, sangat memuji kecendikiawannya dan membahasakannya dalam sebuah syair sebagai berikut:
“Wiens aldoor snuffelende brein Een gansche werelt valt te klein”
“Orang yang pikirannya selalu dan terus menerus mencari sehingga seluruh dunia rasanya terlalu sempit baginya”.
Karaeng Patingalloang tampil sebagai seorang cendekiawan dan negarawan di masa lalu. Sebelum beliau meninggal dunia, beliau pernah berpesan untuk generasi yang ditinggalkan antara lain sebagai berikut:
Ada lima penyebab runtuhnya suatu kerajaan besar, yaitu:
- Punna taenamo naero nipakainga’ Karaeng Maggauka,
- Punna taenamo tumanggngaseng ri lalang Pa’rasangnga,
- Punna taenamo gau’ lompo ri lalang Pa’rasanganga,
- Punna angngallengasemmi soso’ Pabbicaraya, dan
- Punna taenamo nakamaseyangi atanna Manggauka.
Yang artinya sebagai berikut :
- Apabila raja yang memerintah tidak mau lagi dinasehati atau diperingati,
- Apabila tidak ada lagi kaum cerdik cendikia di dalam negeri,
- Apabila sudah terlampau banyak kasus-kasus di dalam negeri,
- Apabila sudah banyak hakim dan pejabat kerajaan suka makan sogok, dan
- Apabila raja yang memerintah tidak lagi menyayangi rakyatnya.
Beliau wafat ketika ikut dalam barisan Sultan Hasanuddin melawan Belanda. Setelah wafatnya, “KaraEng Patingalloang” kemudian dianugerahi gelar anumerta “Tumenanga ri Bonto Biraeng”.
Semoga pesan-pesan beliau sebagai seorang Negarawan dan Cendikiawan dapat mengilhami para pemimpin dan putra-putri Maros untuk membawa Maros menjadi Butta Salewangang yang sesungguhnya…Amiiin.
0 komentar:
Posting Komentar