Kabupaten maros pasca perjanjian bungaya 1667
Bongaya pada masa lalu merupakan nama sebuah Kampoeng di Makassar yang kini telah menjadi nama sebuah Kecamatan. Konon dinamakan Bongaya karena di wilayah tersebut banyak ditumbuhi bunga-bunga dan kondisi alamnya yang asri. Di Bongaya inilah tempat berlangsungnya perjanjian monumental antara Pemerintah kolonial Belanda dengan Sultan Hasanuddin yang dijuluki “De Haantjes van Het Oosten” atau “ Ayam Jantan/Jago Dari Benua Timur”.
Perjanjian Bungaya (sering juga disebut Bongaya atau Bongaja) adalah perjanjian perdamaian yang ditandatangani pada tanggal 18 November 1667 di Bungaya antara Kesultanan Gowa yang diwakili oleh Sultan Hasanuddin dan pihak Hindia Belanda yang diwakili oleh Laksamana Cornelis Speelman. Walaupun disebut perjanjian perdamaian, isi sebenarnya adalah deklarasi kekalahan Gowa dari VOC (Kompeni) serta pengesahan monopoli oleh serikat dagang Belanda (VOC) untuk perdagangan sejumlah barang di pelabuhan Makassar yang dikuasai Gowa.
Isi perjanjian bungaya :
Dalam Perjanjian Bungaya di atas, terdapat 5 pasal berkaitan dengan Sultan Bima. Pasal-pasal tersebut adalah pasal 9, 14, 15, 24 dan 28. Dari cuplikan pasal 9 jelas tertera bahwa orang –orang Makassar dilarang mengirimkan perahu-perahunya ke Bima, Solor dan Timor, Selayar, sebelah utara pulau Kalimantan, Mindanao(Philipina) atau di pulau-pulau sekitarnya. Siapa yang melanggar akan ditangkap dan disita barangnya. Pasal 14 secara tegas menyatakan dan mengancam Raja dan pembesar Gowa untuk tidak mencampuri urusan negeri Bima. Pasal ini juga secara tegas melarang Gowa untuk membantu Bima dan ini merupakan salah satu trik Kompeni untuk memecah belah Bima dengan Gowa.
Kemudian pada pasal 15 memerintahkan kepada Raja Gowa untuk menyerahkan Raja Bima dan menantunya Raja Dompu, Raja Sanggar, Raja Tambora beserta pengikutnya yang telah terbukti membunuh anggota VOC. Pada Pasal 24, VOC mengatur persekutuan dagang, perjanjian perdamaian,persahabatan di antara kerajaan-kerajaan di jalur perdagangan nusantara timur termasuk Bima. Pada pasal 28 VOC, mengultimatum dalam sepuluh hari Raja Bima dan Karaeng Bonto Marannu harus ditangkap hidup atau mati.
Perjanjian itu ditentang oleh Sultan Abdul Khair Sirajuddin,Raja Bima berserta beberapa Karaeng-karaeng di Makassar. Mereka tetap pada pendirian untuk memerangi Kompeni sampai titik darah penghabisan. Pada malam menjelang perundingan Bongaya dilaksanakan, Sultan Bima menolak dan memilih untuk kembali ke Bima. Bagi Abdul Khair Sirajuddin, menandatangani perjanjian Bongaya sama dengan menyerahkan diri secara konyol dan menjadi tahanan di Bui Kompeni. Dia dan Karaeng Bonto Maranu terus mengacaukan suasana di laut dengan menenggelamkan dan merampas isi kapal-kapal Kompeni.
Dalam pelariannya dari Makassar, Sultan Abdul Khair Sirajuddin,Raja Bima dan Karaeng Bonto Marannu kembali memperkuat Armada Laut Bima yang bernama Pabise. Untuk mengenang kehebatan Pabise inilah di depan Asi Mbojo terdapat sebuah tiang kapal yang saat ini sudah patah bagian atasnya. Dan Nama Karaeng Bonto Marannu inilah yang menjadi cikal bakal penamaan nama kampung Bontoranu di Bima.
Konsekuensi Perjanjian Bungaya membawa pengaruh besar terhadap Kerajaan-Kerajaan di Sulawesi Selatan dan Kerajaan-Kerajaan di bagian Timur Indonesia seperti Bima, Sanggar, Dompu, Tambora, Ternate, Tidore, Buton dan lainnya.
Maros pada pasca Perjanjian Bungaya juga dikategorikan berada langsung dalam kekuasaan Belanda. Dampak selanjutnya adalah “Migrasi” pangeran-pangeran dari Kerajaan Gowa, Bone dan Luwu ke negeri lain di luar Kerajaannya sebagai sikap ketidakpuasan dengan Perjanjian Bungaya dengan mendirikan Kerajaan-Kerajaan serta kasullewatangan baru di wilayah sekitar Maros. Kerajaan dan Kasullewatangan tersebut antara lain Turikale, Simbang, Tanralli, Bontoa, Tangkuru, Raya, Lau’, Timboro’, dan Kabba (wara), serta beberapa kerajaan di wilayah Lebbo’ Tengae.
Pada Tahun 1859, daerah-daerah tersebut dimodifikasi lagi oleh Belanda dengan membentuk REGENTSCHAPPEN dengan komposisi :
Kepala Pemerintahan pada masing-masing Regentschappen tersebut di atas adalah Regent yang bergelar KaraEng yang dipilih dari Bangsawan setempat yang memenuhi syarat oleh masing-masing Kepala Kampoeng dengan persetujuan Gouvernement Belanda di Makassar.
Pada Tahun 1917, bentuk pemerintahan tersebut diubah lagi menjadi Distrik Adat Gementschap berdasarkan earste Gouvernements Secretari No. 1863/I, tanggal 4 Agustus 1917, dan Kepala Pemerintahannya adalah Kepala Distrik yang bergelar KaraEng, Arung/Puwatta dan Gallarang.
Perjanjian Bungaya (sering juga disebut Bongaya atau Bongaja) adalah perjanjian perdamaian yang ditandatangani pada tanggal 18 November 1667 di Bungaya antara Kesultanan Gowa yang diwakili oleh Sultan Hasanuddin dan pihak Hindia Belanda yang diwakili oleh Laksamana Cornelis Speelman. Walaupun disebut perjanjian perdamaian, isi sebenarnya adalah deklarasi kekalahan Gowa dari VOC (Kompeni) serta pengesahan monopoli oleh serikat dagang Belanda (VOC) untuk perdagangan sejumlah barang di pelabuhan Makassar yang dikuasai Gowa.
Isi perjanjian bungaya :
- Perjanjian yang ditandatangani oleh Karaeng Popo, duta pemerintah di Makassar (Gowa) dan Gubernur-Jendral, serta Dewan Hindia di Batavia pada tanggal 19 Agustus 1660, dan antara pemerintahan Makassar dan Jacob Cau sebagai Komisioner Kompeni pada tanggal 2 Desember 1660 harus diberlakukan.
- Seluruh pejabat dan rakyat Kompeni berkebangsaan Eropa yang baru-baru ini atau pada masa lalu melarikan diri dan masih tinggal di sekitar Makassar harus segera dikirim kepada Laksamana (Cornelis Speelman).
- Seluruh alat-alat, meriam, uang, dan barang-barang yang masih tersisa, yang diambil dari kapal Walvisch di Selayar dan Leeuwin di Don Duango, harus diserahkan kepada Kompeni.
- Mereka yang terbukti bersalah atas pembunuhan orang Belanda di berbagai tempat harus diadili segera oleh Perwakilan Belanda dan mendapat hukuman setimpal.
- Raja dan bangsawan Makassar harus membayar ganti rugi dan seluruh utang pada Kompeni, paling lambat musim berikut.
- Seluruh orang Portugis dan Inggris harus diusir dari wilayah Makassar dan tidak boleh lagi diterima tinggal di sini atau melakukan perdagangan. Tidak ada orang Eropa yang boleh masuk atau melakukan perdagangan di Makassar.
- Hanya Kompeni yang boleh bebas berdagang di Makassar. Orang "India" atau "Moor" (Muslim India), Jawa, Melayu, Aceh, atau Siam tidak boleh memasarkan kain dan barang-barang dari Tiongkok karena hanya Kompeni yang boleh melakukannya. Semua yang melanggar akan dihukum dan barangnya akan disita oleh Kompeni.
- Kompeni harus dibebaskan dari bea dan pajak impor maupun ekspor.
- Pemerintah dan rakyat Makassar tidak boleh berlayar ke mana pun kecuali Bali, pantai Jawa, Jakarta, Banten, Jambi, Palembang, Johor, dan Kalimantan, dan harus meminta surat izin dari Komandan Belanda di sini (Makassar). Mereka yang berlayar tanpa surat izin akan dianggap musuh dan diperlakukan sebagaimana musuh. Tidak boleh ada kapal yang dikirim ke Bima, Solor, Timor, dan lainnya semua wilayah di timur Tanjung Lasso, di utara atau timur Kalimantan atau pulau-pulau di sekitarnya. Mereka yang melanggar harus menebusnya dengan nyawa dan harta.
- Seluruh benteng di sepanjang pantai Makassar harus dihancurkan, yaitu: Barombong, Pa'nakkukang, Garassi, Mariso, Boro'boso. Hanya Sombaopu yang boleh tetap berdiri untuk ditempati raja.
- Benteng Ujung Pandang harus diserahkan kepada Kompeni dalam keadaan baik, bersama dengan desa dan tanah yang menjadi wilayahnya.
- Koin Belanda seperti yang digunakan di Batavia harus diberlakukan di Makassar.
- Raja dan para bangsawan harus mengirim ke Batavia uang senilai 1.000 budak pria dan wanita, dengan perhitungan 2½ tael atau 40 mas emas Makassar per orang. Setengahnya harus sudah terkirim pada bulan Juni dan sisanya paling lambat pada musim berikut.
- Raja dan bangsawan Makassar tidak boleh lagi mencampuri urusan Bima dan wilayahnya.
- Raja Bima dan Karaeng Bontomarannu harus diserahkan kepada Kompeni untuk dihukum.
- Mereka yang diambil dari Sultan Butung pada penyerangan terakhir Makassar harus dikembalikan. Bagi mereka yang telah meninggal atau tidak dapat dikembalikan, harus dibayar dengan kompensasi.
- Bagi Sultan Ternate, semua orang yang telah diambil dari Kepulauan Sula harus dikembalikan bersama dengan meriam dan senapan. Gowa harus melepaskan seluruh keinginannya menguasai kepulauan Selayar dan Pansiano (Muna), seluruh pantai timur Sulawesi dari Manado ke Pansiano, Banggai, dan Kepulauan Gapi dan tempat lainnya di pantai yang sama, dan negeri-negeri Mandar dan Manado, yang dulunya adalah milik raja Ternate.
- Gowa harus menanggalkan seluruh kekuasaannya atas negeri-negeri Bugis dan Luwu. Raja tua Soppeng [La Ténribali] dan seluruh tanah serta rakyatnya harus dibebaskan, begitu pula penguasa Bugis lainnya yang masih ditawan di wilayah-wilayah Makassar, serta wanita dan anak-anak yang masih ditahan penguasa Gowa.
- Raja Layo, Bangkala dan seluruh Turatea serta Bajing dan tanah-tanah mereka harus dilepaskan.
- Seluruh negeri yang ditaklukkan oleh Kompeni dan sekutunya, dari Bulo-Bulo hingga Turatea, dan dari Turatea hingga Bungaya, harus tetap menjadi tanah milik Kompeni sebagai hak penaklukan.
- Wajo, Bulo-Bulo dan Mandar harus ditinggalkan oleh pemerintah Gowa dan tidak lagi membantu mereka dengan tenaga manusia, senjata dan lainnya.
- Seluruh laki-laki Bugis dan Turatea yang menikahi perempuan Makassar, dapat terus bersama isteri mereka. Untuk selanjutnya, jika ada orang Makassar yang berharap tinggal dengan orang Bugis atau Turatea, atau sebaliknya, orang Bugis atau Turatea berharap tinggal dengan orang Makassar, boleh melakukannya dengan seizin penguasa atau raja yang berwenang.
- Pemerintah Gowa harus menutup negerinya bagi semua bangsa (kecuali Belanda). Mereka juga harus membantu Kompeni melawan musuhnya di dalam dan sekitar Makassar.
- Persahabatan dan persekutuan harus terjalin antara para raja dan bangsawan Makassar dengan Ternate, Tidore, Bacan, Butung, Bugis (Bone), Soppeng, Luwu, Turatea, Layo, Bajing, Bima dan penguasa-penguasa lain yang pada masa depan ingin turut dalam persekutuan ini.
- Dalam setiap sengketa di antara para sekutu, Kapten Belanda (yaitu, presiden atau gubernur Fort Rotterdam) harus diminta untuk menengahi. Jika salah satu pihak tidak mengacuhkan mediasi ini, maka seluruh sekutu akan mengambil tindakan yang setimpal.
- Ketika perjanjian damai ini ditandatangani, disumpah dan dibubuhi cap, para raja dan bangsawan Makassar harus mengirim dua penguasa pentingnya bersama Laksamana ke Batavia untuk menyerahkan perjanjian ini kepada Gubernur-Jendral dan Dewan Hindia. Jika perjanjian ini disetujui, Gubernur-Jendral dapat menahan dua pangeran penting sebagai sandera selama yang dia inginkan.
- Lebih jauh tentang pasal 6, orang Inggris dan seluruh barang-barangnya yang ada di Makassar harus dibawa ke Batavia.
- Lebih jauh tentang pasal 15, jika Raja Bima dan Karaeng Bontomarannu tidak ditemukan hidup atau mati dalam sepuluh hari, maka putra dari kedua penguasa harus ditahan.
- Pemerintah Gowa harus membayar ganti rugi sebesar 250.000 rijksdaalders dalam lima musim berturut-turut, baik dalam bentuk meriam, barang, emas, perak ataupun permata.
- Raja Makassar dan para bangsawannya, Laksamana sebagai wakil Kompeni, serta seluruh raja dan bangsawan yang termasuk dalam persekutuan ini harus bersumpah, menandatangani dan membubuhi cap untuk perjanjian ini atas nama Tuhan yang Suci pada hari Jumat, 18 November 1667.
Dalam Perjanjian Bungaya di atas, terdapat 5 pasal berkaitan dengan Sultan Bima. Pasal-pasal tersebut adalah pasal 9, 14, 15, 24 dan 28. Dari cuplikan pasal 9 jelas tertera bahwa orang –orang Makassar dilarang mengirimkan perahu-perahunya ke Bima, Solor dan Timor, Selayar, sebelah utara pulau Kalimantan, Mindanao(Philipina) atau di pulau-pulau sekitarnya. Siapa yang melanggar akan ditangkap dan disita barangnya. Pasal 14 secara tegas menyatakan dan mengancam Raja dan pembesar Gowa untuk tidak mencampuri urusan negeri Bima. Pasal ini juga secara tegas melarang Gowa untuk membantu Bima dan ini merupakan salah satu trik Kompeni untuk memecah belah Bima dengan Gowa.
Kemudian pada pasal 15 memerintahkan kepada Raja Gowa untuk menyerahkan Raja Bima dan menantunya Raja Dompu, Raja Sanggar, Raja Tambora beserta pengikutnya yang telah terbukti membunuh anggota VOC. Pada Pasal 24, VOC mengatur persekutuan dagang, perjanjian perdamaian,persahabatan di antara kerajaan-kerajaan di jalur perdagangan nusantara timur termasuk Bima. Pada pasal 28 VOC, mengultimatum dalam sepuluh hari Raja Bima dan Karaeng Bonto Marannu harus ditangkap hidup atau mati.
Perjanjian itu ditentang oleh Sultan Abdul Khair Sirajuddin,Raja Bima berserta beberapa Karaeng-karaeng di Makassar. Mereka tetap pada pendirian untuk memerangi Kompeni sampai titik darah penghabisan. Pada malam menjelang perundingan Bongaya dilaksanakan, Sultan Bima menolak dan memilih untuk kembali ke Bima. Bagi Abdul Khair Sirajuddin, menandatangani perjanjian Bongaya sama dengan menyerahkan diri secara konyol dan menjadi tahanan di Bui Kompeni. Dia dan Karaeng Bonto Maranu terus mengacaukan suasana di laut dengan menenggelamkan dan merampas isi kapal-kapal Kompeni.
Dalam pelariannya dari Makassar, Sultan Abdul Khair Sirajuddin,Raja Bima dan Karaeng Bonto Marannu kembali memperkuat Armada Laut Bima yang bernama Pabise. Untuk mengenang kehebatan Pabise inilah di depan Asi Mbojo terdapat sebuah tiang kapal yang saat ini sudah patah bagian atasnya. Dan Nama Karaeng Bonto Marannu inilah yang menjadi cikal bakal penamaan nama kampung Bontoranu di Bima.
Konsekuensi Perjanjian Bungaya membawa pengaruh besar terhadap Kerajaan-Kerajaan di Sulawesi Selatan dan Kerajaan-Kerajaan di bagian Timur Indonesia seperti Bima, Sanggar, Dompu, Tambora, Ternate, Tidore, Buton dan lainnya.
Maros pada pasca Perjanjian Bungaya juga dikategorikan berada langsung dalam kekuasaan Belanda. Dampak selanjutnya adalah “Migrasi” pangeran-pangeran dari Kerajaan Gowa, Bone dan Luwu ke negeri lain di luar Kerajaannya sebagai sikap ketidakpuasan dengan Perjanjian Bungaya dengan mendirikan Kerajaan-Kerajaan serta kasullewatangan baru di wilayah sekitar Maros. Kerajaan dan Kasullewatangan tersebut antara lain Turikale, Simbang, Tanralli, Bontoa, Tangkuru, Raya, Lau’, Timboro’, dan Kabba (wara), serta beberapa kerajaan di wilayah Lebbo’ Tengae.
Pada Tahun 1859, daerah-daerah tersebut dimodifikasi lagi oleh Belanda dengan membentuk REGENTSCHAPPEN dengan komposisi :
- Regentschap TURIKALE, 43 Kampoeng,
- Regentschap TANRALILI, 40 Kampoeng,
- Regentschap MARUSU, 35 Kampoeng,
- Regentschap LAU’ (gabungan Raya, Lau’ dan Tangkuru), 34 Kampoeng,
- Regentschap SIMBANG, 24 Kampoeng,
- Reetschap BONTOA, 16 Kampoeng.
Kepala Pemerintahan pada masing-masing Regentschappen tersebut di atas adalah Regent yang bergelar KaraEng yang dipilih dari Bangsawan setempat yang memenuhi syarat oleh masing-masing Kepala Kampoeng dengan persetujuan Gouvernement Belanda di Makassar.
Pada Tahun 1917, bentuk pemerintahan tersebut diubah lagi menjadi Distrik Adat Gementschap berdasarkan earste Gouvernements Secretari No. 1863/I, tanggal 4 Agustus 1917, dan Kepala Pemerintahannya adalah Kepala Distrik yang bergelar KaraEng, Arung/Puwatta dan Gallarang.
0 komentar:
Posting Komentar