Aku Melihatmu Kembali

Bagian terbaik dari panas yang menyengat ubun-ubun hari ini adalah, aku melihatmu kembali. Dan yah, tak ada yang berubah darimu. Tidak sedikitpun kecuali kenyataan bahwa kamu lebih gemukan dari sebelumnya, seperti yang diutarakan Ica saat kami membicarakan tentangmu di sela-sela suapan siomaynya. Sebegitu senangkah kamu di sana, berkumpul lagi dengan keluargamu, Bang? Atau... Mungkinkah kamu bertemu lagi dengannya? Entahlah, aku tak terlalu ingin tahu jawabannya.
Bagiku kamu masih sama. Dengan balutan kemeja merahmu yang lusuh, kemeja yang biasa kau pakai kuliah di hari Rabu, yang menurutku justru membuatmu terlihat sebagai pegawai SPBU daripada seorang mahasiswa. Tapi... peduli apa, katamu. Yang penting datang kuliah. Mahasiswa tidak dinilai dari apa yang dikenakannya melainkan dari otak yang dipakainya dalam berpikir dan bertindak dalam hidup bermasyarakat, begitu lanjutmu mantap.
Ayolah, aku juga sebenarnya tak mengerti apa yang sedang aku harapkan, saat melihatmu melenggang di depan Bank mini itu. Mengharapmu menegurku terlebih dulu? Ah, itu sama mustahilnya dengan mengharapkan beasiswa kita cair tepat waktu, ya kan? Tapi kemudian mendapatimu melemparkan senyum tipis khasmu, sudah lebih dari cukup bagiku. Tanpa kata-kata menyapa, sebatas itu saja. Dan tak tahulah, kurasa tak salah jika kemudian Ica mencapku lebay, karena mengatakan senyummu bagai oase kala kemarau panjang. Aku tak peduli.
Aku masih mengamati sosokmu dari tempatku, bahkan saat bayangmu tak lagi di luar pintu masuk. Rambutmu lebih panjang rupanya, apa abang lupa mencukurnya? setidaknya untuk menyambut lebaran kemarin, seperti yang biasa mereka lakukan dalam mempersiapkan hari raya.
Ah ya, bagaimana aku bisa lupa. Kamu tak suka semua hal tentang ceremoni penyambutan hari raya yang berlebihan. Hari raya bagimu lebih pada menata hati, tingkah laku, dan ketaatan pada Illahi, lebih baik dari sebelumnya. Semua hal seperti baju atau potongan rambut baru dalam menyambut hari raya, bagimu hanya cocok bagi anak kecil saja. Tidak untukmu. Tidak ada dalam tradisi keluargamu.
Aku paham.
Hanya saja, aku masih tak bisa menyembunyikan keherananku melihat rambutmu yang cukup berantakan dan wajahmu yang basah karena keringat. Setahuku jarak kosmu dan kampus tak sampai 10menit dengan menggunakan sepeda motor. Apa tadi kau jalan kaki, Bang? Ah, apa lagi sekarang? Tentang kesederhanaan hidup kah? bahkan saat beasiswa di ATM-mu menyajikan angka-angka yang jauh lebih besar dari milikku? Hebatnya kamu, Bang! Membuatku semakin tersadar, ada begitu banyak yang harus kubenahi dalam hidupku.
Mungkin kamu tak tahu, setiap melihatmu berjalan, setiap mendengarkanmu bercengkrama dengan sahabat-sahabatmu, bahkan setiap kali kamu berdiam diri, aku selalu berpikir apalagi yang ingin kau ajarkan padaku hari ini ? Apalagi yang dapat kucuri diam-diam darimu?
Kamu tak pernah menggurui dengan ceramah panjang lebar layaknya ustadz atau guru ngajiku. Tapi lebih dari itu, kamu menunjukkannya dalam setiap tindak tandukmu.
Aku ingat kata-katamu hari itu "Kata seorang temanku, nasehat terbaik adalah contoh yang baik."
Sebenarnya dari awal aku sudah menebak-nebak ini. Tentang sosok sahabatmu itu. Dia yang selalu memberi kata-kata mutiara padamu. Teman yang kata-katanya selalu kau bagi untukku, yang kata-katanya tak hanya berakhir sebagai kata-kata usang saja, melainkan kau jadikan prinsip hidup. Boleh aku menyebutnya sekarang, bahwa ia—teman terbaikmu— adalah Pengalaman hidup, ya kan?
Aku rasa abang, bisa memberi tahu jawabannya nanti, saat aku menimba ilmu lainnya darimu tanpa harus diam-diam lagi, tanpa harus mencurinya sendiri. Tapi kau ajarkan dalam sebuah ikatan yang suci.
Aku akan bersabar untuk hari itu.
#Selalu.
Surabaya, 19 Agustus 2013
[Kuucapkan selamat datang padamu, My Inspiration]
#Phie
0 komentar:
Posting Komentar