Aku Penggemar Senyuman Mu

Tiba-tiba ada rasa ingin aku bercerita, namun tak tahu pada siapa, di antara waktu-waktu kita yang di isi dengan candaan sembarang dan kalimat iseng tak tentu arah. Biar aku kirimkan makna tersirat di sana, dan mungkin karena kita sedang tak ada seriusnya, anda takkan terlalu menyadari apa yang aku coba kirimkan untuknya.

Aku akan berkata, 'percayakah, para pendosa bila bertemu dengan orang yang suci, pilihan yang akan ia lakukan hanya dua, terseret menjadi suci, atau menghindari orang suci itu jauh-jauh'. Bila perasaanmu lebih ringan lagi, kau mungkin akan tersenyum-senyum heran jahil, lalu bila kau timpali tanya; bagaimana bila orang kotor itu mencoba mengotori orang suci? Suaraku akan membalas, 'itu artinya, ia sudah menjelma sebagai tubuh-tubuh setan'. Dengan nada canda, kita tertawa-tawa kecil lagi.
Dan dalam hati aku berucap, terimakasih untuk senyumanmu
Aku menemukan senyumanmu. Senyuman yang mampu menahanku lebih lama setengah jam di ruangan ini, meski tadi aku yakin tak ada satupun yang mampu mengubah niatku untuk pulang lebih dulu. Di hamparan guratan letihmu, masih jelas senyum tulus itu kau kembangkan lebar. Lelahmu terbentuk sejak tadi malam, atau mungkin kemarin. Sekarang, kau masih akan mengerjakan ini itu, bahkan duduk pun adalah sebuah tugas yang kau laksanakan, antara terus berfikir dan mengawasi yang ada di sekitarmu. Sedangkan aku? Izinkan aku tak banyak menghina diri disini, pun sepertinya kau sudah tahu.

Ada yang ingin sedikit aku singgung, tapi, hei, bukankah bila ini surga, maka pembicaraan kita akan lebih mudah adanya? Karena itu aku memuntahkan kata di sini, di tempat yang tersembunyi darimu, aku ingin kau tahu belakangan, mungkin nanti, ya, di surga. Baiklah, aku hanya ingin bertanya, apa maksud dari senyummu itu? Oh, hatiku mulai terbahak sekarang, meski ini mulai tak lucu lagi di usia kita. Sadarkah kau, aku tertahan setengah jam -sedikitnya- karena ingin menginverstigasi senyummu itu.

Kau menemukan wajahku, lalu tersenyum. Senyum itu bisa bernama senyum sapa yang bersahaja. Tapi aku saat ini, sudah tak bisa senaif itu lagi. Perlukah aku jabarkan teorinya? Diantara kelelahan yang menggurita, terkadang manusia ingin bertemu dengan seorang yang di sayanginya, ketika bertemu di detik yang tak di duga, ia pun sumringah dan serta merta hilanglah setengah lelahnya, meski hanya untuk saat yang tak berapa lama. Maka seperti itulah senyummu terlihat di mataku.

Kali ini aku izinkan kau untuk terbahak hebat, meski aku tak yakin kau mau melakukannya. Maaf kawanku, aku juga mencintaimu. Dan hm, ketika aku tertahan setengah jam itu, jangan bilang kau lupa mata kita sempat beradu sesaat, dengan perasaan yang aku tahu kau tahu maksudku. Di lain waktu, senyum-senyummu tetap merekah, tapi kali ini senyum biasa, kecuali matamu. Semua orang juga tahu bahwa kau, meski bukan periang, tapi senyummu selalu ada di dua katup bibirmu, ketenangan bisa menjalar ke segala arah. Dan kali ini matamu, bisakah kau berhenti menatapku seperti itu? Jauh sebelum ini aku pernah memergokimu, sekali-dua kali di rentang waktu yang agak lama, sedang menatapku, dengan tatapan yang tak perlu aku narasikan. Mungkin karena jarak yang lama itu, dan dirimu yang sebenarnya pandai menjaga diri, butuh waktu pula untukku merangkum tentang perasaanmu.

Aku menangis kemarin-kemarin malam, aku menangis karena hati kita tak senada, cintaku untukmu tak lebih besar dari ini, kawan. Pedih. Pernahkah kau memiliki seorang teman yang sangat kau sayang, suatu saat kau mendapatinya sedang patah hati, ia pilu, kau bisa lebih pilu lagi, sayangmu untuknya bukan mainan pula. Kau ingin, dan tentu akan mencoba untuk menegarkannya, menghapus sedihnya. Dan karena perasaan itu airmata ini tumpah, sebelum kau tahu, aku sudah tahu kau akan patah hati bila matamu terjatuh pada sosokku. Aku takkan bisa membantumu menghapus sedihmu, itu membuat tangis ini lebih bergelombang.Aku menangis sebelum kau .. ??

Tangisan ini juga karena kotorku, aku tak mampu untuk membalas perasaanmu yang berkabut suci itu. Ini kelewat konyol, tapi tak bisakah kau lihat betapa murahannya aku? Atau mungkin Tuhan memang masih menutup-nutupinya hingga belum bisa kau tahu. Entah bagaimana, sedikit cahaya Tuhan itu melintas dari senyumanmu. Berpikirlah aku, bagaimana mungkin aku yang rendah ini masih Tuhan izinkan untuk di cintai oleh umatNya yang lain? Bagaimana bila pasangan hidupku kelak adalah orang-orang yang sekelas denganmu? Masihkah aku tak memantaskan diri untuk lebih baik lagi ?

Sesaat kemudian, lagi aku memikirkan tentangmu. Harapan-harapan kecilku terhembus, semoga kau berhenti mencintaiku dalam waktu dekat ini, atau setidaknya kau tahu cintamu tak terbalas ketika kau sudah tak peduli lagi. Apapunlah itu, semoga sedih itu tak banyak kau tuai. Juga harapan, kau menyempurnakan dien dengan orang yang begitu cocok denganmu. Aku bahkan bisa membayangkan cinta melimpah dari matamu untuk kekasih dunia-akhiratmu. Kau tersenyum padanya, dan aku tersenyum tenang melihat pemandangan itu dari jauh.

Aku penggemar senyumanmu, tetaplah seperti ini, meski akan jarang untukku melihatnya lagi. Aku sudah memutuskan untuk menggelar jarak sejauh yang aku bisa di antara kita.

0 komentar:

Posting Komentar